Pentingnya mediasi
Pentingnya mediasi
Manusia adalah makhluk sosial dimana mereka saling
membutuhkan satu sama lain. Dengan adanya hubungan timbal balik, maka sering
kali timbul fenomena sosial berupa konflik yang timbul akibat adanya
kepentingan yang berbeda-beda. Dengan timbulnya konflik, maka hukum memegang
peranan penting dalam menyelesaikan konflik tersebut. Arus globalisasi telah
banyak memengaruhi kehidupan bangsa Indonesia terutama dibidang hukum dan
ekonomi.
Sudah menjadi masalah umum di negara mana pun, baik yang
sudah maju ataupun yang masih berkembang, kritik yang dilontarkan kepada
lembaga peradilan dalam menyelesaikan sengketa di masyarakat dan pencari
keadilan, apalagi dalam bisnis, sangat banyak dan beragam. Pada umumnya mereka
melakukan kritik karena lambatnya proses peradilan, biayanya mahal, dan
berbelit-belit. Tony Mc Adams mengemukakan bahwa “law has become a very big
American busines and that litigation cost may doing damage to nation company”. Bahwa
tingginya biaya berperkara dianggap sebagai faktor yang sangat merusak terhadap
perekonomian Amerika.
Dengan maraknya kegiatan bisnis, tidak mungkin dihindari
akan terjadinya konflik atau sengketa antara para pihak yang terlibat. Secara
konvensional, sengketa bisnis akan diselesaikan melali pengadilan, dimana
posisi para pihak berlawanan satu dengan yang lainya dan proses ini akan
memakan waktu yang lama. Oleh karena itu, proses ini kurang diminati dalam
menyelesaikan sengketa bisnis, karena tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangan. perkiraan ini didasarkan pada fakta-fakta di lapangan.
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan dinilai terlalu bertele-tele,
membutuhkan waktu yang lama, dan tidak efisien bagi kalangan bisnis. Selain
itu, putusan pengadilan justru tidak memuaskan para pihak.
Kondisi ini kian diperburuk dengan kenyataan masih banyaknya
perkara yang bertumpuk dan belum terselesaikan di Mahkamah Agung. Hal ini bisa
menimbulkan persepsi ganda, yaitu: pertama, karena lembaga ini memang
kekurangan hakim, kedua, tumpukan perkara tersebut adalah pantulan
situasi permisif di Mahkamah Agung.
PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan sebagaimana telah diganti
dengan PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, dimana
Mahkamah Agung memerintahkan agar semua Hakim yang menyidangkan perkara dengan
sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian. Namun, selama ini boleh dikatakan
mungkin kurang mendapat perhatian dari pihak masyarakat maupun penegak hukum.
Dalam perkara perdata yang bersifat sengketa, minimal ada
dua pihak yang saling memperjuangkan kepentinganya. Masing-masing pihak akan
merasa dirinya paling benar dan berhak atas apa yang disengketakan dimana
mereka akan berupaya untuk membuktikan kebenaran dalil-dalilnya dan melakukan
apa saja. Akan tetapi, suatu sengketa yang diselesaikan dengan cara perdamaian,
diharapkan oleh kedua belah pihak. Abdul Kadir Muhammad Berpendapat bahwa
perdamaian berguna untuk menghindari biaya yang mahal, lebih-lebih terhadap
broker hukum dan untuk menghindari proses perkara yang berlarut-larut.
Penyelesaian sengketa dengan cara perdamaian ini dimaksukan
untuk mencari jalan keluar agar pihak yang bersengketa menyelesaikan secara
damai dan selanjutnya dibuatkan akta perdamaian yang ditandatangani oleh para
pihak. Dengan ketentuan bahwa para pihak harus mematuhi apa yang telah
disepakati dalam akta perdamaian tersebut. Jika akta dibuat diluar pengadilan
dalam bentuk akta otentik dan akta dibawah tangan, maka perjanjian itu mengikat
kedua belah pihak dan jika salah satu pihak lalai dalam pelaksanaan perjanjian,
maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun jika
akta perdamaian dalam pengadilan atau dimuka sidang melalui proses mediasi,
maka para pihak akan sulit melalaikan apa yang sudah disepakati, karena perdamaian
itu mempunyai kekuatan hukum tetap seperti suatu putusan perkara biasa. Setelah
putusan perdamaian dibacakan oleh Hakim, maka terhitung sejak saat itu putusan
perdamaian mempunyai kekuatan hukum tetap, final, dan mengikat para pihak yang
berperkara, sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal
1 Agustus 1973 dalam perkara Kasasi No.
1038 K/Sip/1972. Hal yang sama dikemukakan pula dalam putusan Mahkamah Agung
Tanggal 19 Februari 1976 No. 975 K/Sip/1976 bahwa tidak ada upaya banding dan
kasasi terhadap putusan perdamaian.
Penyelesaian sengketa melalui perdamaian secara mediasi
tampaknya mempunyai prospek dan peluang untuk dikembangkan serta diberdayakan
di pengadilan. Namun, tidak mengurangi pentingnya peranan peradilan formal,
keduanya tetap dibutuhkan dalam dunia praktik hukum. Untuk itu, mediasi dan
proses peradilan formal dikolaborasikan agar terwujud asas peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Komentar
Posting Komentar