Sita Marital
Sita marital atau sita harta
bersama, menurut M. Yahya Harahap dalam buku “Hukum Acara
Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan Putusan
Pengadilan” (hlm. 369), memiliki tujuan utama untuk membekukan harta
bersama suami-istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga
selama proses perkara atau pembagian harta bersama berlangsung. Pembekuan harta
bersama di bawah penyitaan, berfungsi untuk mengamankan atau melindungi
keberadaan dan keutuhan harta bersama atas tindakan yang tidak bertanggung
jawab dari tergugat.
Sita
marital bagi perceraian suami-istri yang beragama Islam/muslim diatur Pasal
78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama (“UU Peradilan
Agama”) Jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (“KHI”).
Cara
pelaksanaan sita marital dapat kita simpulkan dari pengaturan Pasal 78
huruf c UU Peradilan Agama Jo. Pasal 95 dan Pasal 136 ayat (2)
KHI, yang secara lengkap mengatur sebagai berikut:
Pasal 78 huruf c UU Peradilan
Agama
selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat, pengadilan dapat: menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi
hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Pasal 95 KHI
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2), huruf c
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 serta pasal 136 ayat (2), suami
atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti
judi, mabuk, boros dan sebagainya.
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 136 ayat (2) KHI
“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atau permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :
a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.”
|
Pasal 95
KHI memungkinkan untuk dilakukan sita marital oleh
seorang suami/istri dalam suatu perkawinan tanpa melakukan gugatan perceraian.
Sedangkan, Pasal 136 ayat (2) KHI mengatur sita marital yang
dilakukan selama berlangsungnya sidang perceraian. Jadi, berdasarkan Pasal
95 KHI dan Pasal 136 ayat (2) KHI, pelaksanaan sita
marital hanya dapat dilakukan oleh seorang suami/istri yang masih terikat dalam
ikatan perkawinan dengan cara mengajukan permohonan sita marital kepada
Pengadilan Agama.
Di sisi
lain, terdapat kemungkinan pengadilan mengabulkan gugatan perceraian tanpa
memutuskan sesuatu mengenai pembagian harta bersama,. Dalam hal seperti ini,
menurut Yahya Harahap (hlm. 373), bila mantan suami-istri tersebut ingin
membagi harta bersama, hanya dapat dilakukan melalui gugatan perdata tentang
pembagian harta bersama.
Jadi,
sita marital tidak dapat digunakan untuk membagi harta bersama jika pengadilan
telah mengabulkan gugatan perceraian pasangan suami-istri. Dalam kondisi
demikian, pembagian harta bersama hanya dapat dilakukan melalui gugatan
perdata.
Komentar
Posting Komentar